;

Rabu, 26 September 2007

Kulturalisme vs strukturalisme: pilih yang mana untuk gerakan sosial baru?


Oleh :

yahya Bachrun Al-Palopory

”Orang-orang yang menegakkan agama biasanya membawa pedang dan mushaf”

Betapa mudahnya berkata ya atau tidak untuk suatu perubahan, namun konsekuensi dari itu apakah akan semudah ketika kita membuka mulut? Sedikit atau banyak realitas inilah yang sedang terjadi. Orde baru telah kembali berkuasa namun dalam cover yang berbeda. Benih-benih reformasi yang coba disemaikan pergerakan mahasiswa ’98 ternyata hanya melahirkan kekuasaan yang lebih canggih. Namun, dalam setiap kekuasaan akan selalu hadir anti-kekuasaan yang akan selalu mencoba memata-matai setiap penyelewengan yang terjadi.

Isu demokrasi yang menjadi patron dalam pergerakan ternyata telah melahirkan konflik baru yang seyogyanya diharapkan mampu lebih membuka mata kita untuk melihat siapa musuh sesungguhnya dalam setiap perjuangan ternyata hanya dapat melahirkan konflik-konflik baru. Lahirnya kelompok-kelompok perjuangan yang mengatasnamakan dirinya sebagai penyelamat bangsa menggerek benderanya masing-masing sehingga nampak bahwa terdapat beda antara yang satu dan lainnya dan ternyata tak dapat dipersatukan oleh DEMOKRASI. Kemudian seiring dengan itu maka dipetakanlah garis merah dari perjuangan tiap kelompok dengan perjuangan dalam kultur dan struktur.

Secara lebih khusus, kulturalisme yang dipraktekkan Raymond Williams yang biasa disebut kulturalisme kiri, merupakan sebentuk materialisme historis-kultural yang mengeksploitasi kebudayaan dalam konteks kondisi-kondisi material ketika ia diproduksi dan dikonsumsi.

Jika kulturalisme menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks wilayah sejarah, maka strukturalisme lebih tertarik untuk berbucara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan p[roduk darui struktur atau regularitas sebagaimana ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya dapat dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman. Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalismne Ferdinan Dessaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produkasi makana merupakan efek dari struktur terdalam dai bahasa dan kebudayaan yang bersifat anlaog yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-permpuan dan lain-lain.

Jika dikaitkan dengan relaitas perjuangan mahasiswa (yang notabenenya adalah kaum intelektual) pasca refomarsi dimana negara berdiri atas ideologi semata. Yakni tidak tegak atas dasar ikatan-ikatan warna-warna kulit, ras, bahasa, atau batas-batas geografis da pada kenytaannya telah timbul kelompok-kelompok meberikan sekat-sekat antara kelompok yang satu dengan yang lain maka dapat dikatakan perjuangan sejak tahun 1908 hanya berjalan ditempat. Karena ternyata tidak ditemukan satu langkah yang dapat membuat kelompok-kelompok tersebut berjalan dalam satu arah. Sebab kita hanya terjebak pada bias-bias efek yang menyentuh kepentingan per golongan tanpa mau merunut dan melihat subtansi masalah atau akar masalah yang ternyata sama-sama kita perangi.

Ketidaksadaran yang menyebabkan tidak selangkahnya kita menyebakan timbulnya berbagai konflik yang pada akhirnya me-mati surikan pergerakan. Inilah yang kemudian membuat kita harus berpikir dan mengkaji ulang konteks pergerakan yang selama ini kita usung apakah itu melalui kultur atau struktur, apakah sudah menjadi soluisi yang nyata bagi permasalahan yang kita hadapi saat ini.

Pergerakan kulutral yang dianggap sebagai cikal bakal perubahan besar ada kalanya terbentur pada berbagai kelemahan-kelemahan. Diantaranya lamanya waktu yang diperlukan sehingga dapat mengaburkan bahkan melunturkan semangat yang membara. Belum lagi isu-isu terus bergulir seirng dengan berjalannya waktu, sementara banyak hal yang seyogyannya membutuhkan aksi-aksi reaksioner untuk melanggengkan pergerakan kultur tersebut. Sehingga dapat dikatakan pergerakan kultur miskin pola ekspresi, dan ini juga merupakan cikal bakal masalah dalam pergerakan. Namun pergerakan kultural memiliki penanaman konsep dalam artian basis yang dibangun atau fondasi sangat kuat dan berakar sebab dibangun dari penyadaran-penyadaran yang memikat/ memanggil hati nuruani untuk bergejolak melawan penindasan.

Suatu malam aku bermimpi

Telah menaiki Tugu Monas Jakarta

Lau kuambil puncaknya

Untuk mengganti-rugi kerugian

Karena korupsiku, dan membayar hutang-hutangku

Yang sampai berjuta-juta

Aku terbangun dan kesiangan

Terlambat sekolah, teman-teman pulang semua’

Tapi tak apalah

Karena mimpi tak bisa disalahkan

Tak bisa dipegang,

Tak bisa dipukul

(Masaji Pratama)

Puisi di atas menggambarkan betapa pergerakan kultural memakan waktu yang lama. Namun sekali lagi konsep yang dibangun sangat berakar dan kuat. Contoh kasus, reformasi yang dibangun oleh sosok Amien Rais merupakan bentuk dari pergerakn kultural dimana beliau melakukan penyadaran-penyadaran intelektual di kampus-kampus serta pada forum-forum yang melibatkan masyarakat. Ibarat bom waktu yang dirakit sedemikian rupa hingga pada waktunya ia akan bergejolak dengan sendirinya entah dengan sedikit stimulus atau rekayasa yang dibangun sebagai pemicunya.

Jika kulturalisme menekankan pada pendekatan sejarah, maka srtukturalisme jstru menekankan pendekatan sinkornik, relasi-relasi struktur di analisa dalam potongan-potongan peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukuturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna, maka strukturalisme justru menegaskan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang bersifat objektif.

Sehingga dari perbedaan titik fokus antara strukturalisme dan kulturalisme inilah yang membuat masing-masing memiliki kekhasan sendiri. Ketika strukturalisme merujuk pada penegasan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang objektif maka sekon-sekon yang dibutuhkan relatif lebih cepat dibandingkan kulturalisme yang lebih memfokuskan pada interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna yang memerlukan waktu yang tidak sedikit.

Front Pembela Islam (FPI) merupakan salah satu organisasi islam yang cukup penting pasca reformasi Indonesia yang gerakannya kerap diwujudkan dalam tindakan-tindakan dan aksi-aksi yang radikal. Front Pembela Islam termasuk salah satu kelompok Islam yang kerap dikategorikan sebagai Islam fundamentalis. Jargon-jargon yang mereka pakai memang tidak jauh dari doktrin pembelaan kalimat Allah, lebih khusus lagi pemebrlakuan syariat islam, dan penolakan mereka yang tegas terhadap barat. Organisasi ini dengan cepat dikenal masyarakat sejak beberapa tqahun belakangan. Hal ini berkaitan erat dengan kegiatan utama mereka, yaitu merazia tempat-tempat hiburan yang mereka percaya sebagai sarang maksiat seperti klub malam, diskotik, kafe dan kasino.

Dan untuk gerakan sosial baru yang manakah yang akan kita pilih ?

Anak-anakmu bukanlah Anak-anakmu

Mereka adalah putera-puteri kehidupan

Kau bisa berikan kasih sayangmu

Tapi tidak pikiranmu

”Berpeganglah selalu pada diri sendiri. Tapi akan selalu ada meskipun sedikit, meskipun kau rasakan mustahil, meskipun kau tak merasakan kehadirannya, orang-orang yang berpikir sepertimu, yang bisa memahamimu dan bisa menyayangimu. Tak seorangpun benar-benar sebatang kara. Kita tak pernah benar-benar sendirian”.

0 komentar:

;