;

Sabtu, 29 September 2007

peranan kaum muda

Pada hakikatnya, kaum muda merupakan kelompok strategis dalam masyarakat. Tidak hanya karena mereka pasti akan tampil menggantikan "generasi tua" (the old) pada masa depan, melainkan juga karena jumlahnya cukup besar. Para pemuda yang saat ini semakin terpelajar dan kian kritis dalam menanggapi perkembangan sosial, politik, serta ekonomi dalam masyarakat diharapkan mampu memberikan sumbangsih nyata dalam mengentas persoalan bangsa dan negara.
Seiring iklim reformasi, kita melihat semakin banyak organisasi kepemudaan (OKP) yang didirikan, baik yang bersifat sosial, politik, akademik, keagamaan, maupun lainnya. Baik yang berafiliasi pada institusi tertentu maupun yang berdiri sendiri (otonom). OKP yang umumnya nonpemerintah (non-government) telah menjadi bagian dari masyarakat sipil (civil society). Artinya, mereka juga menjadi salah satu ikon penting dalam masyarakat.
Sayangnya, modal sosial yang lahir dari asosiasi-asosiasi sipil kepemudaan tersebut sering berkembang justru dalam kegiatan-kegiatan sektarian atau dalam persaingan-persaingan yang justru merusak tatanan OKP itu, bahkan tidak jarang menghambat roda demokrasi. Artinya, tidak semua organisasi pemuda, termasuk kalangan mahasiswa, yang berorientasi memberikan problem solving. Sebaliknya, banyak organisasi tersebut yang komunalistis dan menjadi problem makers.
Padahal, idealnya, OKP berposisi sebagai salah satu media untuk mengasah serta mengembangkan sense of crisis di tengah-tengah masyarakat. OKP seperti Gerakan Pemuda Ansor, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah, HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, dan PMII maupun kedudukannya sebagai undercover partai politik seperti Pemuda Pancasila, Garda Bangsa, Barisan Muda, hingga kini masih membutuhkan kontrol dan koreksi. Sebab, hingga kini, muncul banyak kekecewaan terhadap OKP tersebut.
Mereka yang notabene dinobatkan sebagai agen perubahan sosial kini ternyata mengalami stagnasi pergerakan. Peran OKP hingga kini masih menjadi media batu loncat untuk tujuan kekuasaan semata. Sudah menjadi rahasia umum, terjadinya pola hubungan simbiosis mutualisme antara OKP dengan alumnusnya di puncak karier politik.
Sebagai imbas posisi OKP yang terjebak dalam jaring kekuatan elite politik tersebut, mereka mulai membalikkan badan dari ranah idealis yang selalu kritis dalam menatap kondisi sosial kemasyarakatan menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis semata. Bahkan secara terang-terangan menjadi underbow partai politik tertentu untuk memperkuat basis massa parpol di tataran pemuda.
Dihadapkan pada kondisi seperti itu, diperlukan kearifan elite politik dan elite pemuda untuk bersama-sama mengembalikan OKP pada posisi ideal, sehingga dalam setiap aktivitas dan perannya selalu menjadi penyeimbang kekuatan terhadap kekuasaan. Tanpa harus mengesampingkan peran OKP sebagai kawah candradimuka bagi calon pemimpin bangsa dan salah satu pabrik terbesar penyuplai SDM terbesar bagi partai politik, kita menuntut idealisme OKP ditegakkan.
Sebab, bagaimanapun, peran kaum muda sebagai salah satu kekuatan civil society sangat krusial. Kalangan pemuda bisa menjadi kekuatan pendorong keadaban dalam masyarakat secara lebih luas. Pemuda juga memiliki tanggung jawab dan tidak bisa tinggal diam dalam membiarkan kekuatan-kekuatan terorisme berkembang serta menelan korban jiwa.
Selain itu, seluruh elemen OKP harus memperadabkan diri sendiri (self civilizing) dengan cara seperti pendidikan dan pelatihan internal, pemekaran jaringan yang lebih terbuka, serta lintas identitas dan ideologi. Mereka juga harus berintrospeksi (self critical) agar perjuangan menegakkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan melawan terorisme bisa senantiasa relevan dan tepat mengenai sasaran.
Terakhir, OKP harus membuka diri, mencari kesamaan-kesamaan tema umum gerakan. Bagaimanapun, jika mereka menutup diri dan merasa lebih berjuang dari kelompok kepemudaan yang lain, yang terjadi adalah chaos. Kekuatan-kekuatan yang ada sulit mengarah pada proses yang bersifat konvergen menuju demokrasi yang sehat dan dinamis serta kondisi yang aman dan kondusif.
Kini saatnya kaum muda menyadari bahwa kekuatan-kekuatan OKP jelas tidak homogen. Sebab, tidak sedikit di antara mereka yang masih dipengaruhi perbedaan etnis, agama, gender, ideologi, serta partai politik. Bahkan, kekuatan-kekuatan dalam OKP sering saling bertentangan, sehingga menimbulkan konflik-konflik baru yang tidak sehat dan memperlemah demokrasi.
Selain itu, banyak kelompok pemuda yang tidak mengerti apakah setiap bentuk partisipasi mereka selalu baik bagi demokrasi atau tidak. Bahkan, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya politik identitas diletakkan dalam konteks konsolidasi demokrasi.
Akibatnya, tidak semua OKP secara kultural memiliki karakter beradab (civilized). Bahkan, pluralitas sering menimbulkan terjadinya persaingan-persaingan antarkelompok pemuda dan bukan menyokong demokrasi. Wallaahu a’lam.(*)

0 komentar:

;